Assalamualaikum, Ahlan Wa Sahlan, Welcome, Sugeng Rawuh,Selamat Datang, Sumimasen, Kya halle, Lai La


Senin, September 22, 2008

YaNG di NiLaI BuAhNya

Beberapa hari belakangan tanpa sengaja saya membaca beberapa kalimat yang mempunyai makna sejenis. Entah kenapa ketidaksengajaan tersebut pada akhirnya membuat saya berpikir yang pada akhirnya merubah pula mind set saya. Kalimat-kalimat tersebut ada yang berdasar pada hadist rasul, pepatah maupun idiom yang sangan lazim kita dengar dimasyarakat. Saya tidak terlalu ingat bagaimana bunyi selengkapnya hadist tersebut (atau mungkin itu firman Allah, hmm….saya lupa) namun kurang lebih begini bunyinya “sesunguhnya setiap manusia itu lahir dalam Islam, orangtuanya lah yang membuat ia menjadi Yahudi, dan Majusi” bukan sekali saya membaca kalimat tersebut, dalam seminggu ini saya rasa lebih dari 4 kali saya membaca artikel yang didalamnya terdapat kalimat ini. Selain hadist tersebut kalimat yang mengandung makna sejenis adalah “bahwa setiap manusia itu pada dasarnya adalah baik”. Pada dasarnya saya sangat setuju dengan kalimat tersebut, itu pulalah mengapa saya selalu percaya dan yakin bahwa sejahat-jahatnya seseorang pasti jauh didalam hatinya ia pasti memiliki welas asih. Dan akan ada selalu harapan berubah seorang penjahat yang paling jahat sekalipun. Kalimat inipun seringkali saya gunakan untuk memotivasi dan meyakinkan seseoarang agar ia bangkit kembali setelah melakukan kekhilafan. Efektif memang!
Selain saya yang cenderung berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah benar, masyarakat kitapun seringkali terjebak dalam pola berpikir tersebut. Semisal contoh apabila seorang anak melakukan kesalahan fatal di masyarakat, seorang ibu akan secara reflek membela sang anak dengan mengatakan “anak saya mungkin memang nakal dan cenderung malakukan hal-hal yang meresahkan, namun jauh dilubuk hatinya ia sebenarnya memiliki hati yang baik, ia anak yang baik”. Sejalan dengan hal tersebut saya rasa pandangan seorang Paulo Coellho seorang penulis asal Brazil (perkenalan saya dengannnya dimulai ketika saya membaca novel laris berjudul Sang Alkemis) sangat relevan untuk menjelaskan hal tersebut, dimana secara garis besar (lagi-lagi karena lupa) sang alkemis berpendapat bahwa sikap menyalahkan diri sendiri ataupun memaafkan diri sendiri merupakan dua hal yang berbeda dan tidak mendatangkan manfaat dalam kehidupan ini. Sikap menyalahkan diri sendiri merupakan sikap pesimistik yang pada akhirnya membuat seseorang terjebak dalam perasaan bersalah tersebut yang pada akhirnya membuat seseorang kehilangan ransangan untuk kita berkembang, sementara sikap memaafkan diri sendiri untuk segala hal juga tidaklah baik karena dapat membuat seseorang menjadi tidak awas dan lalai untuk mengambil makna dari kesalahan yang telah dilakukan tadi.
Seyogyanya yang kita nilai adalah hasil dari perbuatan kita, bukan maksud yang ada dibelakangnya. Pada dasarnya setiap orang adalah baik, tetapi ketika yang bersangkutan melakukan perbuatan buruk, hal itu menjadi tidak relevan, seperti pepatah Arab berbunyi, “Tuhan menilai pohon dari pohonnya, bukan dari akarnya”. (RA)

Tidak ada komentar: